Petualangan Ruru dan Riri: Nyasar di Hutan, Apakah Ulah Wewe Gombel????

Alkisah Ruru dan Riri adalah sepasang sahabat yang sedang menikmati indahnya luhur pertiwi.

Ruru adalah gadis manis dan imut-imut, walau tinggi badannya begitu amit-amit (sekitar 180 cm kalo pake High heels 12 cm dan topi rajut kuncup)

Riri adalah gadis manis dan cantik yang memiliki rambut indah tergerai bak habis dipakein Hair Nourishing Oil Care 4 ampul. Tinggi badannya gak jauh-jauh dari Ruru.

Mereka memiliki kesamaan, yaitu kulit cerah alami dan mata besar yang indah. Meskipun demikian, terkadang mereka jadi korban artis korea, yaitu bukannya pake celak supaya mata jadi makin besar, mereka senang menyulap mata mereka seolah sipit-sipit oriental dengan make-up. Bagaimana caranya? Aku pun tak tahu, karena mereka belum menerbitkan tutorial make-up nya di You Tube..hiks

Dalam hal kecerdasan, skor IQ Ruru 140, dan Riri 130, namun seperti tidak ada perbedaan kecerdasan dengan skor IQ rata-rata, karena sifat mereka yang tidak ingin terlalu menonjol ke luar. *shombong, huhh*

Cerita ini tentang petualangan Ruru dan Riri yang kesasar di hutan homogen. Cerita ini akan ditulis terkadang seperti seolah (apa sih) sebuah diary, yaitu, pemeran utama sebagai orang pertama (hayoo, kalo di pelajaran B. Indonesia sebutannya apa hayooo?? fufufufu) Baiklah mari kita mulai….

Jeng jeeeng…!!!!

Tanggal 28 November tahun XXXX,

Semua berawal dari salah seorang sobatku, Riri, yang berencana nginep di rumahku di kawasan Tangerang. Seperti biasa, aku suka ngorbanin kakak nomor 3: Aa Ildan buat jemput temen kampus yang mau nginep di rumah, Eheheh :D.

Tenang, ini bukan kisah kasih antara aku dengan Wewe Gombel. Entah mengapa Wewe Gombel identik dengan anak kecil kesasar atau hilang, yang cocok dengan petualangan yang akan aku dan Riri alami di suatu daerah di Jawa Barat.

Baiklah, mari kembali ke depan dikit.

Sesampainya Riri dirumah, tiba-tiba Aa Ildan mau maen ke Bandung dengan teman-teman klub motor Satria FU-nya, lha, aku kan ga terimaa, masa aku dan Riri ga diajaaak!!??

Hatiku menjerit, “Kan pengeeen diajaakk… apalagi Aa belom neraktir ultah, lagiaan kan baru aja gajiaan, trus ke Bandung kan ada rumah Emak (nenek Ruru dari ibu~Red.) Udah gitu, katanya kesana bareng temennya dan ada mobiil, trus bla..bla..blah..blah…” dan whooopss, trnyata omongan dalam hatiku barusan, tanpa sengaja terceplos! Si Riri pake nambahin pula “Kan Riri pengen jalan-jalan juga.”

Akhirnya gak kuat dengan kecemprengan 2 adiknya (yah temanku juga dianggap adiknya lah) Si Aa ngajak aku dan Riri untuk turut serta (fuhfuhfuhfuh: ketawa licik).

Kelar acc ijin ortu, cabutlah kami bersama 3 orang tmen Aa Ildan ke Bandung, mengendarai mobil.

Setelah 2 jam perjalanan, jam 22.30 wib sampailah kami di Dago, nah lhoo, diasana gak ada rencana mau ngapain, akhirnya aku nanya aja sobat SMA-ku si Gugun – yang lagi jadi mahasiswa UNPAD- dimana tempat karoke keluarga yang asik. Setelah percakapan dengan si Gugun, akhirnya kami karokean dulu selama 2 jam tidak lupa poto-poto. Dari sana lanjut ke rumah emak-ku di pedalaman (udah dini hari), daerah Rancaekek kesanaan lagi, tepatnya Mariuk, Cicalengka.

Sesampainya kami di Mariuk, saat itu sudah ganti hari, yaitu pukul 04.00 WIB. Hawanya dingiin, bener-bener suasana kampong yang dingin, gelap, sepii, dingiin, bersih, terpencil, dingiiin. Mobil gak bisa dibawa masuk Mariuk, jadi musti parkir di depan, kami berenam jalan kaki mengandalkan cahaya rembulan dan kilauan kunang-kunang, ditemani suara jangkrik dan belalang yang bersahut-sahutan merdu (cailaaah).

Sebagian Rombongan Mariuk, penuh dengan ekspresi

Sebagian Rombongan Mariuk, penuh dengan ekspresi “Menyambut Liburan Indah.”

Rumah emak-ku gampang dicari di Jalan KH Hambali: yang paling ujung, yang paling pojok, yang paling mentok, yang paling mewah..mepet sawah dalam artian sebenarnya. Rumah emak punya tiga ‘pondok’ utama yang terpisah. Pertama ya rumah lengkap dengan teras dan kamar. Kedua, dapur yang masih aseli rumah panggung, dengan lantai bambu dan dinding bilik, atap susunan kayu-kayuan. Terakhir, mushola yang arsitekturnya mirip dapur, bedanya dikarpetin, ada hiasan dinding kaligrafi, dan peralatan sholat.

Di bagian luar rumah berjejer pohon kelapa kuning. Keluarga besar Emak nyebutnya ‘Kelapa Seprit’ soalnya rasa airnya mirip merk minuman bersoda itu. Sebelah Utara ada sungai dan bojong (Hutan Bambu,~Red.) Di Selatan dan Barat membentang sawah luas nan hijau (kalo lagi nanem), atau sawah luas menguning (kalo lagi musim panen), atau hanya daun kering berserakan tak menentu (kalo kelar panen dan belom ngeruk lagi.) Jauh ke belakang, ada bojong lagi yang aku tak tahu berapa luasnya, pokonya luaas, sejauh mata memandang. Sungai yang tadi mengalir meliuk cantik, membelah bojong.

Oia, rumah itu udah 3 tahun tak dihuni sejak wafatnya Emak, tapii kuncinya dititip kepada Uwak yang tinggalnya berdekatan. Karena itu, sebelum masuk ke rumah Emak kami mendatangi rumah Uwak untuk minta kunci. Setelah kunci didapatkan (untung udah deket adzan subuh, jadi si uwak udah bangun. Hehehehe) kami akhirnya dapat beristirahat sebentar di dalam rumah Emak dan merencanakan acara di siang hari nanti.

Ini Mariuk, difoto dari samping rumah Emak

Ini Mariuk, difoto dari samping rumah Emak

Setelah pukul 6 pagi, aku dan Riri tidur bareng di salah satu kamar, dan saat itu kami belum tahu bahwa pada siang hari nanti akan menjadi siang yang ‘gelap’.

Riiiiiiiiiiing….

Aku dan Riri bangun pukul 9 pagi. Kami mandi dan beres-beres, karena hendak jalan-jalan berdua saja ke sawah dan bojong skalian poto-poto. Betapa rencana yang indah! Bukan begitu, bukan?

Jam 10 kami mulai jalan, asik banget wefie-an, liat pemandangan sawah-hutan-pengunungan. Kami melewati pematang sawah yang berpetak-petak, kemudian sampailah kami di hutan bambu tersebut. Abis puas poto-poto, kami jalan pulang dan mau makan juga. Akhirnya kita balik lewat jalur yang sudah ditentukan sebelumnya. Secara kikeh kan udah apaal daerah situ. *tsaaahh*

Nah, kita muterin itu hutan bambu (bojong) teruus..teruus…teruuus… nyebrang jembatan sungai yang cuman terdiri dari 3 batang bambu (aaakkk, mengerikaan!!) semakin menjauh, dan teruuus, kayaknya udah deket deh ke rumah Emak, lalu… tiba-tiba,

Jembatan Bambu. Kuat yaa bambunya (bambu pun melengkung sambil bunyi, kreeett...kreett...)

Jembatan Bambu. Kuat yaa bambunya (bambu pun melengkung sambil bunyi, kreeett…kreett…)

Looooohh??? Kok jembatan ini lagi!!?? Kok kita balik ke tempat semulaa??!!! Wah gak beres nih. Meski begitu, aku sih tetep (pura-pura) stay cool. Riri pura-pura nggak panik. Kami lanjut, nyebrang sungai, lewatin bojong, nembus pohon-pohon, jalan, teruus, teruuus, jalan, dan…

OMAIGAD!!! KOK JEMBATAN ITU LAGIII SEEEEEHH!!!? Seolah kami gak pernah nyebrang, kami ada ke tempat semula, kami keliling tempat yang sama:

KAMI NYASAR…………………………….!!!!!!!!!!!

Aku lapar, si Riri laper: KAMI 2 Gadis perawan yang kelaparan…!!! (ehh)

Akhirnya, dengan sotoy, aku ambil jalan laen, si Riri mulai tau kalo aku ngasal aja ambil jalan (heheh.) Kami melewati rumah penduduk, arsitektur tempo doeloe yaitu rumah panggung, gak pake semen/bata/beton, pure dindingnya anyaman Albasia, atapnya daun Ateup. Pokoknya berasa mundur 200 tahun saking jadulnya dah. Ada jembatan lagi, yang ini rada gede, kami sebrangi, lalu nembus bojong lagi, lalu jalan lagi, lalu………………….

MASYA ALLOH, KETEMU JEMBATAN YANG PERTAMA LAGIII!!???!!!!!! BAGAIMANA INIII???

Aku pikir aku mulai gila karena lapar? Kami lapar, kami tak bawa uang. Riri mulai meragukan kapasitasku sebagai guide (okeh, no problemo). Si aa udah cemas n nelponin mulu, tapi percuma, tidak ada satu orangpun dari aku, Riri, atau Aa yang tau dimana aku dan Riri berada saat nyasar tersebut.

Eh, tapi, tau gak? Alhamdulillah, Alloh Maha Baik Banget, di jembatan itu ada sekawanan mojang bandung lagi mancing, sekitar 7 orang lah. Salah 1 nya, dengan kosakata bahasa Indonesia yg terbatas, beliau berkata,

“Neng, dari tadi dilihat putar-putar saja, Neng kesasar atau sedang galau?”

What? Galau? No way!

Riri dan aku buru-buru menjawab “Nyasar A…..!”

Sang Aa tersebut menanyakan tujuan aku dan Riri. Kami pun menceriterakan rumah Emak lengkap dengan ciri-cirinya. Tahukah kamu, si Aa itu, setelah disampaikan ciri-ciri letak rumah Emak, langsung menjawab “Oooh, itu mah imah Mak Ijoh, nya?”

Uwooohh, amazing!! Dia kenal almarhumah Emak akuu *tertegun*

Betapa kehidupan di desa sungguh, bermasyarakat yang saling kenal dan perhatian satu-sama lain. Penuh kegotong-royongan. *masih tertegun*

Tau kah kamuu? Bagai menembus bojong begitu saja, kami telah sampai ke rumah dalam 10 menit!!! Padahal kami nyasar sampai lewat 2 jam lho!!! Aduuh, Aa Ujang (namanya Ujang), hatur nuhun, nya! Hihihi.^^

Aku gak tau apa yang terjadi, tapi yang aneh, si Aa Ujang bilang (dengan bahasa Indonesia yg belepotan) kalo aku dan Riri udah ngelewatin dia n teman-temannya nya berkali-kali nyebrang sungai, dan kamu semua tau ga?

Aku dan Riri gak pernah nyadar kalo ada mereka…… T_T

Emang, aku seolah pernah ngeliat sesosok-dua sosok pria, tapi itu cuma perasaan doang, deh. Padahal kata A Ujang, mereka ada tepat di samping jembatan, berisik, triak-triak, karena berkali-kali dapet ikan gemuk, tetapi seolah aku dan Riri dibuta dan ditulikan: kami gak ngeh semua itu. Kenapa, ya? Hmm, kalo kata Kid Rock, sih “Only God knows…” T_T

Sesampainya di depan rumah, entah mengapa rumah Emak terlihat bersinar dan berkilauan (ini lagi lebay, macem di tipi-tipi) Riri dan aku pun segera makan nasi, lauk, dan lalapan dengan penuh syukur dan terharu biru. Yang jelas, kami tidak menuduh Wewe Gombel menculik kami. Sebab, Wewe Gombel tidak pernah meminta tebusan pada orang tua kami. Sekian.

Chaww.

~> Kisah ini berdasarkan pengalaman aku sih sebenernya pada hari yang sama di tahun 2010.

Dulu sih diposting di facebook. tapi ini mau taro di sini, penulisannya pun sedikit dirubah, disesuaikan dengan kondisi saat ini.

Si Aa Ildan dan Kebo.

Si Aa Ildan dan Kebo.

2 thoughts on “Petualangan Ruru dan Riri: Nyasar di Hutan, Apakah Ulah Wewe Gombel????

Leave a comment